The Unity In Differsity
(sebuah kajian teoritik dalam kehidupan beragama di Indonesia)

Oleh : Yusril Hardiansyah Pratama 

Abstrak

Sila ketuhanan yang maha esa mengandung nilai norma keagamaan sebagai spektrum yang dipantulkan dalam setiap sendi kehidupan beragama masyarakat indonesia. Pada konsepnya sila ketuhanan yang maha esa adalah dasar dari 4 sila di pancasila yang menjadi sebuah alas akan cita-cita luhur bangsa tanpa menghilangkan peran tuhan sebagai peemegang kuasa atas segala kehendak. Tetapi pada pengejawantahannya pada saat ini sila ketuhanan yang maha esa lebih banyak di tunggangi kepentingan-kepentingan yang tidak bertanggung jawab atas konsekuen kepada kepentingan rakyat dalam beragama. Beragama adalah dasar etika dan norma bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya bermuara pada “baldatun toyyibatun warobbun ghofur”. Maka dari itu, penghidupan nilai ketuhanan yang maha esa harus di galakkan kembali agar bangsa indonesia tidak keluar dari koridor kepatutan.

Kata kunci : Sila pertama, konsekuen dalam pengejawantahan, bangsa yang bertuhan, pandangan cikal baldatun toyyibatun warobbun ghofur, revitalisasi nilai sila pertama




Pancasila sebagai norma dasar (groundfundametalnorm) bagi bangsa indonesia sebagaimana dikemukakan oleh hans nawiansky bahwa norma dasar harus menjadi sebuah batu pijakan bagi norma dan hukum di indonesia. Hal tersebut selaras jika dikaitkan dengan historis penetapan pancasila sebagai dasar negara indonesia bahwa pancasila melegitimasikan nilai yang sejak prakolonialisasi dan pramonarki di indonesia (nusantara-red).. Nilai yang terkandung dalam pancasila mewakili setiap seluk beluk dari latar belakang masyarakat indonesia yang menyepakati terciptanya satu pandangan bersama yang menjadi konsekuensi pengejawantahannya dalam kehidupan pluralisme yang ada.

pancasila memiliki artian penting dalam mempersatukan serta membangun setiap sendi kehidupaan bangsa indonesia. Hal tersebut dikarenakan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap butir sila pancasila digali dan di intisarikan oleh para tokoh bangsa yang mempunyai niatan yang tulus dalam perumusan dan pengilhaman pancasila sehingga pancasila mampu menjadi falsafah hidup bangsa indonesia yang digariskan melalui historis sebagai suatu ideologi atau way of life bangsa indonesia. Sebagaimana Ir.Soekarno pernah berkata “saya bukanlah pencipta pancasila,saya bukanlah pembuat pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari ialah sekedar memformuleer perasaam-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “pancasila”. Saya tidak merasa membuat pancasila dan salah jika ada orang yang mengatakan bahwa pancasila itu buatan soekarno. Bahwa pancasila itu bukan buatan manusia. saya tidak!” (Paulus Londo:2007).

Berbicara soal pluralisme, tentu penulis menilik begitu banyak suku dan kepercayaaan yang ada di indonesia. Hal tersebut adalah akibat dari geografism sosiologism dan kolonialisme yang memang pada sejarahnya setiap daerah di indonesia mengalami masa kolonialisme dan begitu pula dengan aspek geografis dan sosiologis. Hal ini menjadi tantangan bagi para founding father bangsa indonesia untuk mengkonversikan perbedaan menjadi kekuatan hidup yang utuh dan padu (unity in differsity).

Tak lain halnya dengan masalah beragama, Hal tersebut pula tak dapat lepas dari hubungan historis bangsa indonesia dari zaman kerajaan hindu-budha hingga saat ini.
Namun, pada dewasa kini isu agama sangat kental beredar di setiap sendi masyarakat. Memang hal ini adalah hal yang biasa namun sangat merusak jika dibiarkan terus menerus. Isu tersebut menjadi sebuah pergolakan yang sangat riskan dalam vitalitas kehidupan masyarakat dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Dari setiap permasalah keagamaan yang muncul / timbul membuat rakyat indonesia terpecah belah. Jika hal tersebut terjadi maka peran dan fungsi pancasila dalam konteks sila pertama menjadi suatu dasar retaknya norma dasar yang lain. Oleh sebab itu sila ketuhanan yang maha esa adalah tonggak kerukunan dan tonggak kehidupan bangsa dalam bernegara dan mengimplementasikan nilai-nilai dalam setiap butir pancasila. Tak akan mungkin bisa dicapai kemanusiaan yang adil dan beradab jika dalam kerukunan beragama bangsa indonesia tidak saling menghargai satu sama lain. Tidak mungkin tercapai persatuan indonesia jika menghargai  saja kita tidak bisa. Tidak mungkin tercapai mufakat jika dalam bersatu kita tidak mampu. Tidak mungkin mencapai keadilan jika dalam mufakat kita tidak bisa bersepakat

Sebagai falsafah hidup, Pancasila mengandung dasar-dasar dari pada suatu pandangan hidup manusia yang ber-Tuhan. Setiap manusia mempunyai kepercayaan kepada Al-Khalik, Tuhan yg diagungkan, ditaati dan disembahnya sebagai yg Maha Kuasa. Jika semua kita percaya dan takut kepada kekuasaan Tuhan, pasti hal ini akan mempengaruhi cara berpikir kita semua, cara bagaimana kita harus hidup serta menjalankan tugas kewajiban kita diantara sesama manusia dibawah satu naungan dan kekuasaan Tuhan Seru Sekalian Alam. Pokok pikiran inilah sebenarnya yang menjadi hakekat dan dasar dari alam fikiran setiap manusia bertuhan. Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal, tiada sekutu: esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya, artinya bahwa zat Tuhan tidak terdiri dari zat-zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa sifat Tuhan adalah sesempurna-sesempurnanya, bahwa perbuatan Tuhan tiada dapat disamai oleh siapapun. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta beserta isinya. Atas keyakinan yg demikianlah, maka negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. di negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan serta tidak boleh ada paksaan agama. Sebagai sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yg adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk negara Republik Indonesia yg berdaulat penuh, yang telah bersifat kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dan permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikat pengertian diatas sesuai dengan (1) Pembukaan UUD 1945 (2) Pasal 29 UUD 1945 (3) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978.

Pemberitaan tentang isu keagamaan di indonesia bukanlah suatu hal yang aneh lagi bagi khalayak publik indonesia/masyarakat ndonesia. Hal ini disebabkan karena begitu seringnya media memblow up atas segala isu keagamaan di indonesia.

Pada akhir-akhir ini masyarakat indonesia dihadapkan pada suatu fakta tentang sekelompok manusia atau lebih  yang berserikat/berkelompok telah menggunakan sikap refresif dalam setiap permasalahan keagamaan yang dihadapinya dan mengatas namakan suatu agama tertentu. Bagaimanapun, Menggunakan cara anarkis yang ditujukan agar mencapai suatu tujuan tidak dapat dibenarkan. Apalagi berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkepercayaan. jika hal ini terjadi dan terus terjadi maka akan merusak dan meredupkan nilai ketuhanan yang maha esa yang mengajari dan mendasari masyarakat indonesia untuk saling merhargai dalam kebebasan beragama menurut kepercayaan yang dianutnya.

Masyarakat indonesia saat ini sepertinya sudah tidak menganggap sebuah dasar ketuhanan yang saling menghargai atau menggunakan cara pandang keagamaan dengan benar. Nilai keagamaan yang sejatinya bersumber kepada tuhan adalah suatu kebenaran yang harus dipatuhi dan ditaati manusia agar menjadi suatu batas dan acuan manusia dalam melakukan sesuatu agar manusia tidak melenceng dari nilai kebenaran yang hakiki.

Faktanya masyarakat indonesia sering dihadapkan dengan prilaku-prilaku pemangku jabatan dan kewenangan bertindak tidak sesuai dengan mestinya. Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) telah menjamur kepada seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Bahkan ada celotehan mengatakan bahwa “tanpa memberi maka tak akan lancar”. Hal ini menunjukan bahwa peran manusia yang sudah tidak memandang nilai ketuhanan yang maha esa karena telah menyingkirkan peran tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu. 

Tentunya hal ini sudah tidak relevan dengan cita-cita bangsa pada saat berdirinya.  Dengan kata lain, Bersumber dari agama sebagai dasar dan alas bagi pengejawantahan manusia yang bermartabat dengan berkemanusiaan yang adil dan saling menghormati. Peranan pancasila sebagai alat pemersatu, pedoman bagi seluruh manusia indonesia sekaligus jiwa dan kepribadian masyarakat indonesia telah redup jika pengamalan sila pertama yaitu ketuhanan yang maha esa tidak di ejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kegiatan beragama atau berbangsa dan bernegara
dewasa kini, pemahaman masyarakat akan nilai yang terkandung di dalam sila pertama pancasila Pada masih terbilang ala kadarnya. Terbukti dengan maraknya kasus-kasus keagamaan yang mencederai sila ketuhanan yang maha esa yang dengan artian tidak lepas dari kemanusiaan yang beradab.
Ditinjau dari segi maknawinya, ketuhanan yang maha esa adalah suatu formuleer yang dirumuskan dari berbagai kepercayaan dengan maksud dan tujuan untuk menjaga, menjamin dan melaksanakan suatu tatanan yang baik dan saling menghormati dalam beragama. Namun pada saat ini justru perbedaan inilah yang di maksud masyarakat sebagai “persatuan tapi tak bersatu”. Pemahaman yang berkembang ini mengisyaratkan bahwa pemahaman yang ada di  lingkup masyarakat sangatlah tidak relevan dengan apa yang di maksud oleh nilai ketuhanan yang maha esa pada pancasila. Masyarakat pada umumnya memahami nilai ketuhanan yang maha esa dengan berkepercayaan masing-masing tapi melupakan kebersamaan dalam perbedaan. Suatu cita yang sebenarnya sangat diidamkan oleh seluruh masyarakat. Setiap umat beragama ingin memiliki kehidupan yang aman, tentram dan saling menghargai satu sama lain. Dengan maksud hidup berdampingan dalam perbedaan agar menumbuhkan jiwa hidup saling menghargai dan melindungi satu sama lain.
Namun, hal tersebut akan sangat riskan jika pemahaman masyarakat indonesia masih saja seperti saat ini. Feedback nya jika pemahaman masyarakat indonesia masih saja seperti ini dengan pemahaman yang tak ingin hidup berdampingan (aturan yang mengatur) maka malah akan terjadi suatu konflik.
Membuat terang kembali apa yang telah redup dan merajut apa yang sudah putus tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Artinya, hal tersebut membutuhkan suatu proses yang alot. Namun sebagai akademisi yang kompeten, maka kita harus tetap optimis bahwa kita mampu merajut dan menerangkan kembali nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dalam kehidupan masyarakat indonesia dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Tanpa kita menutup mata, bahwa sebenarnya telah ada aturan pelaksana  tentang kehidupan beragama dalam masyarakat indonesia. Yaitu peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri no.9 dan no. 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendiriian rumah ibadat. Namun, yang penulis soroti saat ini adalah bagaimana langkah efektif untuk mengembalikan dan menerangkan kembali nilai ketuhanan yang telah redup?

Bila dicermati pada pasal 14  peraturan bersama kemenag dan kemendagri no.9 dan no.8 tentang pendirian rumah ibadah bagi setiap umat beragama. Pada pasal tersebut dijelasakan bahwa harus ada 90 orang pengguna rumah ibadah  yang menyerahkan ktp dan dengan dukungan penduduk setempat sebanyak 60 orang yang harus menyerahkan ktp sebagai tanda setuju didirikannya bangunan perubadahan tersebut. Hal tersebut justru riskan dan seolah mengesampingkan pedoman hidup atau cara pandang masyarakat indonesia yaitu pancasila. Pancasila sebagai dasar norma yang digali dari diri bangsa indonesia dan murni dari bangsa indonesia menjelaskan dalam butirnya yang membebaskan dan menjamin hidup beragama dengan berkemanusiaan tanpa diskriminasi dan ketidakadilan. Seolah peraturan yang mengharuskan memenuhi syarat 90 da 60 tersebut adalah bukti nyata kehidupan beragama di indonesia disadari tidak harmonis dan cenderung kepada fanastisme golongan.

Maka hal yang paling utama dalam revitalisasi nilai ketuhanan yang maha esa adalah kehidupan bersama dengan saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain. Singkatnya bagaimana mungkin kita menganut kebebasan beragama yang berkemanusiaan jika dalam mendirikan suatu peribadatan didalam penduduk dan kehidupan masyarakatnya tidak dijamin sedemikian rupa dan sangat tidak tepat jika dalam negara yang menganut sebuah dasar yang mengajarkan kehidupan yang saling menghargai dan mencintai terhadap sesama tetapi dalam sebuah pelakasanaannya tidak diejawantahkan dengan sebaik-baiknya. Dalam kepber kemenag dan kemendagri tersebut bahwa hal yang diatur tidaklah seharusnya berkuantitatif, karena hal demikian akan mencedarai kehidupan masyarakat indonesia yang plural dan saling menghargai.




Iman, Ilmu, Amal
Yakin Usaha Sampai