Degradasi Pemikiran Massa Dalam Upaya Pengkritikan Terhadap Suatu Permasalahan
oleh: Asima Romian Angelina
Lagi dan lagi pemerintah hari ini
ingin selalu dicaci maki melalui setiap kebijakan yang dijalankan oleh
pemerintah itu sendiri. Persoalan RUU yang bermasalah memperlihatkan suatu
titik bahwa dalam proses pembentukan pemerintah bersama dengan DPR tidak pernah
melibatkan instrumen-instrumen baik itu masyarakat, pakar-pakar hukum, dan ahli
bahasa. Ini menyebabkan terjadi pergejolakan ataupun penentangan dimasyarakat
yang mengakibatkan maraknya bentuk gelombang massa dalam bentuk demonstrasi
akibat tidak maksimalnya proses pembuatan RUU itu sendiri.
RUU KPK, RKUHP, Pertanahan, Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan merupakan salahsatu bentuk RUU yang tidak pro terhadap rakyat. Ini terlihat dari isi subtansi yang berada pada setiap pasal-pasal di RUU yang mengandung makna kontroversial didalamnya. Perlu kita sadari dalam UU No. 12 tahun 2011 pasal 23 tentang Peraturan Perundang-undangan ,emjelaskan bahwa dalam rancangan RUU itu diperbolehkan tidak masuk ke dalam prolegnas terlebih dahulu karena jika menengok pasal 23 tersebut, terdapat sebuah urgensi untuk merancang sebuah UU. Oleh sebab itu, maka RUU KPK tidak perlu masuk ke dalam prolegnas terlebih dahulu untuk disahkan menjadi UU. Yang menjadi pertanyaan apa urgensi pemerintah bersama dengan DPR untuk mengesahkan RUU KPK mmnejadi sebuah UU dalam tempo 2 (dua) hari sedangkan yang menjadi urgensi hari ini adalah bagaimana persolaan karhutlah dan konflik di Wamena dapat diselesaikan secara semaksimal mungkin dan secepat-cepatnya.
Dalam upaya penegakkan tindak pidana korupsi yang dimana ini menjadi nawacita Presiden Jokowi untuk menghapuskan budaya korupsi dari pejabat-pejabat yang ada di Indonesia seakan-akan hanya menjadi ilusi semata ini ditunjukkan dari UU KPK yang terbaru bahwa dalam upaya penegakkan hukum bagi pejabat yang akan tertangkakp oleh KPK melalui penyadapan ini harus mendapatkan izin terlebih dahulu oleh Dewan Pengawas yang dibentuk dan ditunjuk dari Presiden langsung ini menunjukkan bahwa matinya sebuah lembaga hasil dari cita-cita reformasi yang dimana KPK sendiri merupakan suatu lembaga yang independesinya tidak dapat digangggu oleh pihak manapun dalam upaya pemberantasan korupsi.
Belum selesai persoalan RUU KPK, muncul pula persoalan berikutnya yang dimana dalam RUU KUHP pasal 440 ayat 1 menjelaskan setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik oranglain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut dapat diketahui umum dipidana karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Dan dalam pasal 241 yang berisi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang beri penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui oleh umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lam 4 (rmpat) tahun.
Ini merupakan salahsatu bentuk pembungkaman demokrasi bagi setiap warga negara yang ingin menyampaikan aspirasinya melalui tulisan ataupun gambar-gambar di trotoar jalan. Sedangkan dalam amanat UUD passal 28A-J itu sudah mengatur mengenai kebebabsan berpendapat dimuka umum secara pasti dan hari ini ternyata amanat UUD tetrsebut dikebiri langsung oleh sang penguasa di republik ini.
Yang semakin membuat kronis hari ini adalah permasalahan karhutlah dan konflik horizontal yang berada di Papua. Tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan lambatnya pemerintah mengurangi tingkat kebakaran hutan dan lahan ataupun lambatnya rekonsiliasi yang berada di Papus. Pemerintah hari ini lebih asyik untuk membicarakan mengenai “bagi-bagi menteri” sehingga stigma yang dibangun oleh masyarakat kelas bawah seakan-akan pemerintah tidak memperhatikan masyarakat yang telah memilihnya, lantas sebuah pertanyaan pun timbul apakah kedaulatan berada ditangan rakyat dan kemanusiaan yang adil dan beradab masih bisa kita gaungkan?
Menurutku, mahasiswa bersama dengan masyarakat harus mampu mengubah stigma pemikiran mereka yang apatis terhadap suatu permasalahan menjadi kritis dalam menanggapi persoalan yang ada bukan lagi terhegemoni oleh instrumen-instrumen yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik itu dari media ataupun alat elektronik lainnya sehingga dalam upaya gerakan massa, mahasiswa bersama dengan elemen yang ada tidak diilusi ataupun digiring opininya oleh media yang telah terkoptasi dengan pemerintah dan pemerintah bersama dengan DPR dan jajaran kabinet yang lainnya mampu mengatasi persolan-persoalan yang terjadi republik ini bahwa seharusnya negaar hadir dan mampu menjawab setiap konflik yang merenggang nyawa dari warga negaranya. Apakah harus timbul pertumpahan darah dalam skala besar baru dapat pemerintah menunjukkan empati dan simpatinya?
Hidup Mahasiwa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Hidup Perempuan Melawan!
Sudah saatnya kita bersatu
0 Komentar